Kamis, 10 November 2011

Namaku Nadia

                                                                                                                                    
                 Disudut malam itu seorang gadis diam termenung menanti datangnya sosok ibu yang tengah pergi mencari nafkah. Ia hidup bersama dengan ayah,ibu,dan saudaranya. Suatu hal yang wajar baginya untuk mencari nafkah bersama dengan orang tuanya. Bahkan terkadang ia dan kakaknya bergadang untuk mencari uang untuk membantu perekonomian keluarganya.
Suatu ketika adiknya sakit , ia tak tau harus berbuat apa, saat itu ada begitu banyakl pekerjaan yang tak mungkin dilupakan dan ditinggalkan begitu saja. Tanpa sadar ia berlari meninggalkan kamar kedua orang tuanya yang sekaligus menjadi kamar adiknya itu. Ia selalu dihantui oleh rasa sedih dan benci akan keluarganya yang ada disekitar rumahnya. Mereka hanya ada apabila mereka membutuhkan dirinya, tapi ketika keluarga gadis itu yang memerlukannya mereka selalu saja meninggalkannya jauh sejauh yang mereka mampu dan dengan berbagai alasan.
                 Ya disinilah kisah anak ini dimulai. Kita sebut saja namanya Nadia, nadia gadis belia yang mash berusia 11 tahun. Pada usianya yang muda itu, ia harus bekerja keras untuk membantu orang tuanya mencari nafkah bersama dengan saudara laki-lakinya Bara. Semenjak saat itu ia dan saudaranya itu selalu berusaha untuk mencari uang agar ia bisa segera keluar dari rumah neneknya itu. Iya, memang benar semenjak gadis ini tinggal di Gianyar, Bali. Anak ini seakan dipaksa untuk bekerja mencari nafkah sekaligus uang tambahan untuk biaya sekolahnya.
                   Hari demi haripun berganti , seiring dengan itu ia dan keluarganya berhasil membangun sebuah rumah yag sebenarnya masih belum dapat di tinggali. Tapi karena ia dan ibunya yang sudah jenuh dengan sikap keluarga ayahnya, ia pun pindah kerumahnya yang masih setengah jadi itu. Mereka pindah dengan perasaan yang senang dan merasa bebas. Walaupun rumah itu masih belum jadi sepenuhnya , tapi mereka bangga dengan jerih payah yang sudah mereka lakukan selama ini.
                    Setelah pindah, nadia masih belum bisa bersantai , dia selalu merasa bahwa sebenarnya tak akan pernah berakhir di sini. Ia da saurada-saudaranya selalu bekerja dan bekerja tanpa lelah. Sisa waktu yang biasanya dimanfaatkan oleh teman sebayanya untuk bermain bersama dan menghibur diri ia habiskan untuk mencari uang. Yang ia tahu hanya bekerja dan bekerja. Suatu ketika ia memaksakan dirinya untuk mengambil 3 pekerjaan sekaligus, ia mengambil jahitan, rajutan da sekaligus ia membuat cicin dari kayu. Saat itu ia benar benar menghabiskan waktunya untuk bekerja. Bahkan bagaimana keadaan teman sekelasnya saat itu ia tak terlalu memperdulikannya.
                Semua pekerjaan itu akhirnya dapat ia selesaikan dengan bantuan dari kakak dan ibunya. Memang ayahnya seorang polisi tapi baginya itu hanya pekerjaan milik ayahnya bukan miliknya. Ia tak pernah malu, terlebih jika itu pekerjaan yang halal dan bisa membantu perekonomian keluarganya.
                 Waktu yang berlalu tak ia rasakan, hingga akhirnya ia pun mendekati Ujian Nasional. Waktu yang tersisa untuk ia belajar di seolah dasar hanya tinggal sedikit. Seharusnya nadia menghabiska waktunya untuk belajar bukan bekerja. Tapi ia malah sebaliknya, ia memilih tetap bekerja dan tentunya ia juga tetap mengikuti les yag diberikan di sekolahnya setiap sore.
Hari perjuangan dan penentuan apakah ia akan lulus dari sekolahnya pun datang. Ia memulai test itu dengan Do’a dan harapannya. Nadia memulai menjawab pertanyaan itu satu demi satu. Hingga akhirnya test itupun berakhir.
                 Semuanya berhasil ia selesaikan, kini ia hanya menunggu hasil dari ujiannya apakah ia berhasil? Atau tidak?. Laksana hadiah yang tak diduga , ia berhasil lulus dari sekolahnya. Kini ia harus memilih sekolah menengah pertama yang ia inginkan.
Ia merasa kebingungan dan ragu saat itu, ia memutuskan untuk membawa pulang formulir yang diberikan oleh kepala sekolahnya itu. Perlahan namun pasti ia melangkah pulang dengan hati yang penuh dengan harapan dan do’a. Ia menyerahkan masa depan yang akan ia jalani di tangan ibunya yang terkasih. Keesokan harinya gadis belia ini mengembalikan formulir pendaftaran itu kepada kepala sekolahnya. Dengan senyum yang penuh harapan ia pun melangkah pulang bersama dengan teman sebayanya.
                   Setelah beberapa hari berselang, ia harus menyerahkan  surat-surat yang diperlukan kepada sekolah yang ia pilih. Berdua dengan sang ibu, nadia membawa semua berkas yang diminta oleh pihak sekolah. Ini adalah hari pertama nadia menginjakkan kakinya di SMP yang itu. Dengan rasa gembira dan penuh semangat. Ia memulai masa orientasi siswa dengan beberapa orang temannya yang lain. Memang saat itu ia datang sedikit terlambat hingga akhirnya ia pun kesulitan untuk memcari tempat duduk. Disini lah saat ketika nadia bertemu dengan seoarang sahabat yang benar-benar bisa mengerti dan membimbing dia menjadi jauh lebih baik.
                    Dia melangkah dengan pasti menuju bangku yang kosong di sampingku. Hari itu aku memang masih duduk sendiri, tapi itu adalah kebiasaanku aku jauh lebih suka duduk sendiri dari padaberdua dengan teman yang lain. Saat itu Desi datang dan mendekat, ia bertanya padaku apakah aku sudah memiliki teman duduk atau tidak. Dengan tenang aku pun menjawab ‘tidak’’. Sejak saat itu desi menjadi teman pertama dan terdekat yang aku miliki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar